Perbedaan Pengelolaan Liga di Luar Negeri dan di Indonesia Keputusan PT Liga Prima Sportindo (LPIS), pengelola Indonesian Premier League,
untuk memberi bantuan keuangan kepada klub di kompetisi mendatang patut
diapresiasi. Ini menunjukkan mereka paham betapa keroposnya keuangan
klub peserta IPL, serta niat baik mencegah tunggakan gaji pemain.
Tetapi dalam sebuah kompetisi profesional, bantuan semacam itu (apalagi untuk menanggulangi kesulitan keuangan) tidaklah tepat. Tidak sepatutnya biaya operasional klub ikut ditanggung penyelenggara liga.
Kompetisi profesional memang ujung tombak, kasta tertinggi, dalam piramida pembinaan sepak bola suatu negara. Tetapi kompetisi profesional juga berarti adu mampu — baik finansial maupun prestasi.
Yang seharusnya dilakukan LPIS adalah mengukur kelayakan klub peserta liga, seperti yang dilakukan AFC terhadap klub di negara anggotanya. LPIS perlu mencegah IPL diikuti klub yang tak mampu menutup biaya hidup sendiri.
Pengelola liga perlu menyusun parameter tegas bagi mereka yang berminat ikut kompetisi. Perlu ada aturan main tentang kewajiban dan hak LPIS serta klub. Bukan hanya soal identitas dan personel, tetapi juga tata kelola klub.
Ambil contoh English Premier League yang menganut ekonomi terbuka itu. Di sana, klub diatur dengan ketat tanpa kesan dikekang. Sebelum mengikuti kompetisi semusim penuh, klub harus mampu menunjukkan kemampuan finansial mereka. Bahkan calon pemilik dan direktur klub harus menjalani uji kepatutan dan kelayakan lebih dulu.
Mungkin tidak seketat Bundesliga, tetapi di EPL, klub harus menyerahkan laporan keuangan setiap 1 Maret per musim. Penyusunan laporan keuangan pun harus mengikuti standar yang ditentukan oleh EPL dan dievaluasi oleh tiga auditor berbeda (EPL-klub-independen). Sedangkan laporan keuangan klub promosi EPL ditunggu sampai 30 Juni atau di akhir musim berjalan.
Dari laporan itu EPL bisa mengetahui klub mana yang layak ikut liga musim mendatang atau tidak. Di era Financial Fair Play (FPP) ini, EPL juga bisa memberi rekomendasi atau peringatan kepada klub dalam hal pengeluaran operasional untuk gaji atau belanja pemain.
Salah satu unsur yang mengambil porsi besar dalam pengelolaan klub adalah paket keuangan bagi pemain. Di Eropa, setiap liga secara sadar memiliki standar rasio antara batas atas dan batas bawah gaji pemain. Lima liga utama Eropa, misalnya, menerapkan rasio gaji kelipatan 10.
Jadi, katakanlah ada pemain EPL yang digaji paling tinggi 60 juta pound setahun. Maka gaji terendah yang boleh diterima pemain EPL lain adalah 6 juta pound setahun. Tidak boleh kurang.
Bagaimana dengan Serie A Italia? Di sana, klub harus menyerahkan uang jaminan kepada Lega Calcio sebagai bukti kemampuan menyelesaikan satu musim kompetisi tanpa gangguan operasional. Bila ada klub yang berpeluang bangkrut saat ikut kompetisi (selalu ada), ini pun diatur tegas.
Di sisi lain, tidak adil bila hanya klub yang dimintai kewajiban. Maka itu, kewajiban pengelola liga adalah membuat aturan main yang rapi dan konsisten, serta menyediakan segala perangkat pertandingan yang mumpuni.
Pengelola liga juga perlu mengapresiasi klub yang sudah disiplin menjalankan kewajiban. Apalagi klub sudah mengeluarkan biaya besar, membina pemain, dan menempuh perjalanan panjang di kompetisi.
Di liga yang sudah maju, klub akan mendapat uang lelah — tak peduli juara atau kena degradasi. Di EPL musim lalu (2011-2012), klub di posisi akhir klasemen menerima uang lelah sekitar 755 ribu pound. Sebagai penghuni puncak klasemen, sudah pasti Manchester City menerima bonus lebih besar.
Uang yang dibagikan ke klub tidak berhenti di situ. Klub juga mendapatkan pembagian keuntungan hak siar. Di EPL musim lalu pula, setiap klub menerima kira-kira 13,7 juta pound dari hak siar TV domestik dan 18,7 juta pound TV asing.
Juga ada pembagian keuntungan dari kegiatan bisnis dengan sponsor, semacam dividen. EPL bahkan membagi pula keuntungan hak siarnya untuk klub yang akan bermain di kompetisi musim depan dengan status promosi (parachute payments).
Klub tidak boleh dilarang memiliki sponsor yang kebetulan pesaing sponsor resmi liga. EPL disponsori Barclays Bank, namun tidak melarang Liverpool mengikat kerjasama dengan Standard Chartered.
Pada prinsipnya, pengelola liga membebaskan klub menggali keuntungan sebesar mungkin. Bahkan pengelola liga rela mencari sponsor kompetisi berbeda. Maka itulah EPL, contohnya, meminta klub untuk melaporkan kontrak kerjasama sponsor secara berkala.
Di awal mereka membangun kompetisi, J-League (liga profesional di Jepang) dan K-League (liga di Korea Selatan) bahkan membukakan pintu sponsor bagi klub peserta.
Segala bagi hasil dan keleluasaan mendapatkan sponsor itulah bentuk “subsidi” bagi klub. Bukan bantuan keuangan langsung. Sehingga penyelenggara liga tidak akan pernah menanggung biaya operasional klub — apalagi biaya untuk ikut kompetisi.
Indonesia boleh jadi tidak perlu mencontoh persis EPL atau liga tenar lainnya. Tetapi tinjauan parameter keseimbangan hak dan kewajiban harus tetap ada.
Pembinaan berbaju kompetisi bukan hanya berlaku pada pemain, tetapi juga pada pengelolaan yang profesional. Apalagi terkait klub yang berbentuk badan usaha. Justru mereka yang harus berusaha menunjukkan mereka mampu ikut kompetisi.
Pengelola liga hanya bertugas menyaring peserta, menyediakan lapangan yang rata, dengan pengurus yang kompeten.
Tetapi dalam sebuah kompetisi profesional, bantuan semacam itu (apalagi untuk menanggulangi kesulitan keuangan) tidaklah tepat. Tidak sepatutnya biaya operasional klub ikut ditanggung penyelenggara liga.
Kompetisi profesional memang ujung tombak, kasta tertinggi, dalam piramida pembinaan sepak bola suatu negara. Tetapi kompetisi profesional juga berarti adu mampu — baik finansial maupun prestasi.
Yang seharusnya dilakukan LPIS adalah mengukur kelayakan klub peserta liga, seperti yang dilakukan AFC terhadap klub di negara anggotanya. LPIS perlu mencegah IPL diikuti klub yang tak mampu menutup biaya hidup sendiri.
Pengelola liga perlu menyusun parameter tegas bagi mereka yang berminat ikut kompetisi. Perlu ada aturan main tentang kewajiban dan hak LPIS serta klub. Bukan hanya soal identitas dan personel, tetapi juga tata kelola klub.
Ambil contoh English Premier League yang menganut ekonomi terbuka itu. Di sana, klub diatur dengan ketat tanpa kesan dikekang. Sebelum mengikuti kompetisi semusim penuh, klub harus mampu menunjukkan kemampuan finansial mereka. Bahkan calon pemilik dan direktur klub harus menjalani uji kepatutan dan kelayakan lebih dulu.
Mungkin tidak seketat Bundesliga, tetapi di EPL, klub harus menyerahkan laporan keuangan setiap 1 Maret per musim. Penyusunan laporan keuangan pun harus mengikuti standar yang ditentukan oleh EPL dan dievaluasi oleh tiga auditor berbeda (EPL-klub-independen). Sedangkan laporan keuangan klub promosi EPL ditunggu sampai 30 Juni atau di akhir musim berjalan.
Dari laporan itu EPL bisa mengetahui klub mana yang layak ikut liga musim mendatang atau tidak. Di era Financial Fair Play (FPP) ini, EPL juga bisa memberi rekomendasi atau peringatan kepada klub dalam hal pengeluaran operasional untuk gaji atau belanja pemain.
Salah satu unsur yang mengambil porsi besar dalam pengelolaan klub adalah paket keuangan bagi pemain. Di Eropa, setiap liga secara sadar memiliki standar rasio antara batas atas dan batas bawah gaji pemain. Lima liga utama Eropa, misalnya, menerapkan rasio gaji kelipatan 10.
Jadi, katakanlah ada pemain EPL yang digaji paling tinggi 60 juta pound setahun. Maka gaji terendah yang boleh diterima pemain EPL lain adalah 6 juta pound setahun. Tidak boleh kurang.
Bagaimana dengan Serie A Italia? Di sana, klub harus menyerahkan uang jaminan kepada Lega Calcio sebagai bukti kemampuan menyelesaikan satu musim kompetisi tanpa gangguan operasional. Bila ada klub yang berpeluang bangkrut saat ikut kompetisi (selalu ada), ini pun diatur tegas.
Di sisi lain, tidak adil bila hanya klub yang dimintai kewajiban. Maka itu, kewajiban pengelola liga adalah membuat aturan main yang rapi dan konsisten, serta menyediakan segala perangkat pertandingan yang mumpuni.
Pengelola liga juga perlu mengapresiasi klub yang sudah disiplin menjalankan kewajiban. Apalagi klub sudah mengeluarkan biaya besar, membina pemain, dan menempuh perjalanan panjang di kompetisi.
Di liga yang sudah maju, klub akan mendapat uang lelah — tak peduli juara atau kena degradasi. Di EPL musim lalu (2011-2012), klub di posisi akhir klasemen menerima uang lelah sekitar 755 ribu pound. Sebagai penghuni puncak klasemen, sudah pasti Manchester City menerima bonus lebih besar.
Uang yang dibagikan ke klub tidak berhenti di situ. Klub juga mendapatkan pembagian keuntungan hak siar. Di EPL musim lalu pula, setiap klub menerima kira-kira 13,7 juta pound dari hak siar TV domestik dan 18,7 juta pound TV asing.
Juga ada pembagian keuntungan dari kegiatan bisnis dengan sponsor, semacam dividen. EPL bahkan membagi pula keuntungan hak siarnya untuk klub yang akan bermain di kompetisi musim depan dengan status promosi (parachute payments).
Klub tidak boleh dilarang memiliki sponsor yang kebetulan pesaing sponsor resmi liga. EPL disponsori Barclays Bank, namun tidak melarang Liverpool mengikat kerjasama dengan Standard Chartered.
Pada prinsipnya, pengelola liga membebaskan klub menggali keuntungan sebesar mungkin. Bahkan pengelola liga rela mencari sponsor kompetisi berbeda. Maka itulah EPL, contohnya, meminta klub untuk melaporkan kontrak kerjasama sponsor secara berkala.
Di awal mereka membangun kompetisi, J-League (liga profesional di Jepang) dan K-League (liga di Korea Selatan) bahkan membukakan pintu sponsor bagi klub peserta.
Segala bagi hasil dan keleluasaan mendapatkan sponsor itulah bentuk “subsidi” bagi klub. Bukan bantuan keuangan langsung. Sehingga penyelenggara liga tidak akan pernah menanggung biaya operasional klub — apalagi biaya untuk ikut kompetisi.
Indonesia boleh jadi tidak perlu mencontoh persis EPL atau liga tenar lainnya. Tetapi tinjauan parameter keseimbangan hak dan kewajiban harus tetap ada.
Pembinaan berbaju kompetisi bukan hanya berlaku pada pemain, tetapi juga pada pengelolaan yang profesional. Apalagi terkait klub yang berbentuk badan usaha. Justru mereka yang harus berusaha menunjukkan mereka mampu ikut kompetisi.
Pengelola liga hanya bertugas menyaring peserta, menyediakan lapangan yang rata, dengan pengurus yang kompeten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar